Konsep Astabrata dalam Serat Nitisruti
Konsep Astabrata dalam Serat Nitisruti
Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s.

Serat Nitisruti, yang juga dikenal sebagai salah satu naskah penting peninggalan Keraton Pajang, merupakan sebuah karya sastra yang adiluhung (bernilai tinggi) dan sarat dengan ajaran kebijaksanaan. Naskah ini merupakan karya Pangeran Karanggayam, seorang pujangga besar dari lingkungan Keraton Pajang, yang ditulis pada tahun 999 Hijriyah atau 1591 Masehi. Naskah asli Serat Nitisruti terlindungi dari berbagai bentuk kerusakan dan penghancuran, serta upaya penghapusan oleh kekuasaan pada masa-masa sesudahnya. Hingga kini, naskah tersebut masih tersimpan dengan baik dan aman di British Library, London.

Kehadiran Serat Nitisruti menjadi bukti nyata bahwa Keraton Pajang memiliki penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta menjunjung luhur ajaran moral dan spiritual. Naskah ini bahkan dapat dikatakan sebagai satu-satunya warisan intelektual Keraton Pajang yang berhasil selamat dari penghancuran dan penyingkiran yang dilakukan pada masa pemerintahan Amangkurat Mataram.

Secara etimologis, istilah Nitisruti berasal dari dua kata: niti, yang berarti “aturan” atau “tata laku”, dan sruti, yang berarti “suci” atau “wahyu”. Dengan demikian, Serat Nitisruti dapat dimaknai sebagai “aturan suci”, yakni naskah yang berisi konsep dasar hukum dan tuntunan hidup bagi rakyat dan bangsawan di lingkungan Keraton Pajang.

Adapun pokok-pokok isi ajaran Serat Nitisruti meliputi:

  1. Anjuran untuk menegakkan tauhid (kemanunggalan) kepada Allah Yang Maha Pencipta, serta mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul.
  2. Pentingnya pendidikan yang berbasis nalar dan logika, bukan sekadar cerita atau dongeng.
  3. Anjuran untuk menumbuhkan tepa selira (tenggang rasa) dan sikap adil terhadap sesama, berlandaskan keadilan dan kebenaran dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Meskipun Keraton Pajang berusia relatif singkat, kerajaan ini tercatat sebagai Keraton Islam yang sangat menghargai akal (mantiq) dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan serta rasionalitas. Dimensi rasional dan ilmiah dari Keraton Pajang inilah yang kemudian dihilangkan dan diabaikan oleh rezim Amangkurat Mataram, melalui penyusunan babad-babad (kronik tradisional) yang didasarkan pada dongeng dan mitos, bukan pada nalar dan fakta sejarah.

Serat Nitisruti mengajarkan konsep Astabrata atau Jalan Kepemimpinan diambil dari simbol perilaku benda-benda alam seperti matahari, bulan dan juga dengan dewa-dewanya. Menjadi seorang pemimpin harus berperilaku seperti perilakunya alam semesta. Pertama, yang menjadi kiblat gerak dan perilaku alam adalah Sang Pencipta. Ketika manusia hendak berterima kasih kepada matahari atas sinar dan energinya, maka terimakasih itu bukan ditujukan kepada matahari, karena dia hanyalah mediator dari Penciptanya. Segala Puji hanya untuk Tuhan, Allah, God, Sang Hyang Widi, Yahweh dan banyak lagi sebutan bagi Sang Pencipta. Menjadi pemimpin adalah pelayanan kepada rakyat sebagai bentuk pengabdian kepada Yang Memberikan amanah yaitu Sang Pencipta. Kedua, cara beraktivitas dan gerak alam semesta adalah cara cara beraktivitas dan gerak dari Sang Pencipta selaku Pengatur Semesta Alam. Demikian pula cara memimpin para pemimpin sejati hanyalah kepemimpinan menurut Dia. Pemimpin adalah manusia yang ditunjuk atau diberi amanah umtuk menjadi mediator Sang Pencipta dalam melayani dan mengatur seluruh makhluk di alam semesta dengan segala Sifat-sifat-Nya yang tersimpul dalam Kasih dan Sayang-Nya. Sifat dan karakter itulah yang disimbolkan dalam Astabrata, yang meliputi :

 

Ambeging surya

Matahari merefleksikan sifat keadilan dari Sang Pencipta serta sumber energi. Seorang pemimpin harus menempuh jalan matahari yaitu adil serta membangkitkan energi atau kekuatan. Matahari memberikan panas menurut asas keseimbangan, bulan-bulan tertentu panasnya sekian bulan lainnya sekian. Matahari senantiasa memberi tanpa memandang bulu atau pilih kasih, seperti itulah prinsip keadilan. Maka adil tidak otomatis sama rata namun mengacu terciptanya titik keseimbangan.  Tidak perduli manusia baik atau jahat, manusia menyadari atau tidak menyadari matahari tetap mendedikasikan dirinya sebagai sumber energi di alam semesta. Seorang pemimpin tidak boleh menggantungkan pelayanannya kepada sikap baik rakyat terhadap pemimpin. Dedikasi pemimpin itu tanpa syarat. Seperti matahari yang tidak mengharapkan balas budi dari seluruh makhluk yang menikmati layanannya bahkan ucapan terimakasih pun tidak, seperti itulah pemimpin yang semata-mata melaksanakan perintah dari Sang Pencipta. Karena amanah berasal dari Tuhan maka upahnya pun dari Dia yang memerintah bukan dari manusia.

 

Krisis kepemimpinan yang sedang kita hadapi adalah ketika kepemimpinan dipandang sebagai kursi atau jabatan yang penuh dengan previlege dan berbagai fasilitas yang menyertainya. Lebih parah lagi ketika kursi tersebut ditransaksikan layaknya ‘dagang sapi’ dalam pasar yang disebut pemilu, suksesi kepemimpinan akan jatuh marwahnya ke dalam lembah yang nista, jauh dari hakikat kemanusiaan. Pemilu dipandang tak lebih seperti pasar saham, siapa memiliki modal kuat dialah yang menang untuk mendapatkan rente lebih banyak lagi. Tidak heran pemimpin negara-negara hari ini saling berkompetisi memperebutkan kursi dalam skema survival of the fittest, siapa kuat dia menang. Akhirnya menghalalkan segala cara. Ketika khalayak umum memandang politik itu kotor, manusia adalah pemakan sesamanya, homo homini lupus, kekuasaan cenderung akan korup, kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut juga, power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely, menjadi urgen mengembalikan kepemimpinan kepada asalinya yaitu pengabdian kepada Sang Pencipta sebagai kepanjangan tangan-Nya. 

 

Pemimpin itu mengayomi, dialegorikan dengan term “wafidjanahaka’ seperti seekor unggas yang merendahkan sayapnya untuk melindungi, mengayomi, melayani, mensejahterakan anaknya, seperti itulah pemimpin melayani bahkan berkorban demi rakyatnya. Bukan terbalik pemimpin dilayani rakyat, gaji dan segala fasilitas dari rakyat, bahkan saat liburan dengan keluarganya pun harus dikawal panser sepanjang jalan, sehingga hak pengguna jalan dikorbankan demi melayani kepentingan pribadi pemimpin.

 

Ambeging rembulan

Rembulan adalah simbol penerangan dalam kegelapan maka seorang pemimpin memiliki tugas untuk menerangi, mencerahkan dan mencerdaskan masyarakatnya. Pertama, orang bisa melihat bukan semata-mata karena memiliki mata/penglihatan atau karena ada objek yang dilihat. Tetapi orang bisa melihat membutuhkan syarat wajib yaitu adanya cahaya. Rembulan seumpama cahaya dalam kegelapan, ia memantulkan cahaya dari matahari. Artinya tatkala menemukan persoalan di mana kita belum memiliki ilmunya maka pemimpin harus tetap berpegang teguh kepada prinsip-prinsip kebenaran dan pengetahuan ilmiah sebagai pantulan ilmu dari Sang Pencipta. Pantang pemimpin memutuskan suatu perkara menurut prasangka, emosional atau tekanan dari kelompok tertentu. Keputusan seorang pemimpin akan mengikat seluruh rakyat, bahkan makhluk di sekitarnya. Pantangan utama seorang pemimpin adalah memutuskan suatu perkara, menetapkan suatu kebijakan tanpa dasar ilmu.

 

Ambeging lintang

Pemimpin harus menjadi seperti bintang, bintang adalah simbol dari pedoman atau petunjuk, maka pemimpin harus mampu menjadi teladan, uswah atau contoh bagi masyarakatnya. Dalam Bahasa Jawa dikenal tuladha yaitu contoh, pemimpin adalah manusia contoh yang menjadi saksi dalam menggenapi visi bersama. Dahulu sebelum ditemukan teknologi, para pelaut menggunakan rasi bintang sebagai bintang petunjuk (Bahasa Belanda leidsterren). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rasi bintang ialah sekelompok bintang yang berdekatan dan tampak saling berhubungan membentuk satu konfigurasi khusus. Rasi bintang juga dipahami sebagai konstelasi bintang di langit yang terlihat saling berdekatan dalam penglihatan manusia, yang digunakan sebagai penunjuk arah. Seperti bintang, seorang pemimpin akan bersinar lebih terang dari bintang lainnya, sinarnya membentuk konstelasi dengan sinar bintang lainnya menjadi penanda arah. Pemimpin harus menjadi teladan bagi rakyat atau masyarakatnya. Atau masyarakat ketika membutuhkan figur contoh maka tinggal melihat pemimpinnya. Inilah jalan bintang atau ambeging lintang.

 

Ambeging Angin

Angin merupakan simbol dari arah keberpihakan, kemenangan dan keberuntungan. Dahulu sebelum ada teknologi maju, kapal menggunakan tenaga angin, nelayan atau pelayar mempelajari teknik navigasi berdasarkan arah dan musim angin. Demikian pula petani, menggunakan prnata mangsa dalam bercocok tanam. Ke mana angin bertiup ke situlah awan akan dibawa untuk menjadi karunia berupa hujan yang akan menjadikan bumi yang mati menjadi hidup. Pemimpin harus memiliki keberpihakan kepada prinsip keadilan dan kebenaran. Ada adagium yang mengatakan “Kebenaran harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh”, seperti itulah prinsip memegang teguh misi risalah kebenaran bagi seorang pemimpin. Angin harus bertiup atau berpihak kepada kebenaran dan keadilan.

Pemimpin berkewajiban mengarahkan rakyatnya menuju sesuatu yang menghidupkan kebenaran bukan yang mematikannya. Bukankah hakikat dari kerja mengurus kekuasaan (negara) adalah melihat lebih dahulu ke depan. Bagi seorang negarawan, mengatakan kepada publik apa-apa yang (akan) mereka butuhkan sebelum mereka sendiri atau menyadari’ merupakan tuntutan esensial, sebuah conditio sine qua non yang mutlak harus dilakukan, tetapi itu belumlah cukup. Ketika bicara mengenai masa depan, atau tepatnya menapak masa depan, maka tidak lepas dari apa yang disebut sebagai gerak maju, dan setiap gerak selalu memerlukan energi. Pemimpin kemudian tidak hanya berhenti mengatakan apa-apa yang di depan, tetapi dia juga harus bekerja keras menggumpalkan energi bangsa sehingga dapat terdorong bergerak maju bersama-sama. Pemimpin mengarahkan kepada solusi atau jalan keluar dan kesejukan kepada rakyatnya. Seorang pemimpin pantang mengeluh, melainkan harus terus gigih dan ulet mencari jalan keluar. Seperti angin yang sulit dihalangi atau dibendung, ia akan selalu menerjang apapun yang merintang.

 

Ambeging Mendung

Mendung atau awan memuat air hujan. Air hujan simbol ilmu dari langit, aksioma kebenaran dari Sang Pencipta. Dengan demikian awan adalah khazanah ilmu. Pemimpin harus memiliki khazanah ilmu yang luas. Dari mulutnya, melalui kebijakan dan peraturannya ilmu yang tadinya masih konseptual akan diejawantahkan menjadi terapan nyata dalam kehidupan sosial. Seperti mendung yang terlihat hitam, terkadang pekat, berwibawa, perkataan pemimpin terasa berat dan berkesan. Apa yang diucapkannya bukan berasal dari dorongan nafsu atau prasangka dan angan-angan tetapi berlandaskan ilmu. Tidak heran ketika mendung atau awan datang banyak orang mengatakan “sebentar lagi akan turun hujan”. Demikian pula ketika datang seseorang atau suatu kelompok yang membawa khazanah keilmuan dari langit, merupakan tanda-tanda akan datangnya zaman baru. Zaman lama akan berganti menjadi zaman baru, pemimpin lama digantikan pemimpin baru. Mendung itu berwibawa tapi tidak menakutkan, berwibawa sehingga melahirkan rasa hormat tetapi bukan meneror. Mendung nantinya akan menjadi hujan yang akan menghidupkan bumi yang kering. Anugerah hujan, yang kedatangannya didahului awan atau mendung akan menjadikan seluruh tumbuh-tumbuhan akan kembali hidup dan berbuah/produktif.

 

Ambeging bumi

Pemimpin harus menempuh jalan bumi. Sifat yang melekat kepada bumi adalah menjadi ekosistem bagi seluruh kehidupan di atasnya. Saat bumi kering seluruh potensi dalam keadaan dorman, namun begitu air hujan datang tumbuhlah tetanaman dan pepohonan dengan subur sehingga tercipta keberlimpahan atau kesejahteraan. Pemimpin harus menjadi ekosistem bagi seluruh potensi kebaikan untuk tumbuh dan berkembang kemanusiaan manusia. Bumi adalah tempat hewan dan makhluk lainnya mencari rejeki, yang dengan rejeki itulah mereka menjalankan fungsi dirinya di alam semesta. Demikian pula pemimpin dengan segala kebijakannya menjadi habitat bagi masyarakat untuk mencari rezeki dan karunia.

Rejeki yang terutama bagi manusia bukanlah rezeki fisik tetapi ilmu, kemudian dengan ilmulah rezeki fisik dan non fisik didapatkan dan didistribusikan dengan adil. Dikatakan manusia adalah puncak evolusi proses penciptaan alam semesta, maka memimpin manusia sejatinya adalah memimpin bumi atau alam semesta. Bumi kuat dan tangguh menopang seluruh benda di atasnya serta selalu mensejahterakan makhluk yang berada di atasnya. Di atas bumi ada gunung, lembah, sungai, hutan semua menjadi pilar-pilar yang memiliki peran dan fungsi dalam ekosistem kehidupan. Pemimpin menata dan memanage seluruh fungsi dalam kehidupan menurut prinsip keseimbangan dan keselarasan. Ketika seorang pemimpin menetapkan suatu aturan kebijakan maka aturan tersebut haruslah menumbuhkan potensi baik jiwa maupun raga rakyatnya, juga potensi alam dan ekologinya. Prestasi pemimpin itu bukan dilihat dari previledge yang dimilikinya tetapi dari prioritas dan kebijakannya.

 

Ambeging geni atau jalan api

Api merupakan simbol dari sesuatu yang membakar. Pemimpin harus mampu mengendalikan api, memiliki kecerdasan emosional yang tinggi sehingga mampu mengendalikan nafsu bukan dikendalikan oleh nafsu. Setiap manusia memiliki nafsu, yang selalu mengajak kepada yang enak saja, inilah yang potensial membawa kepada kerusakan dan kejahatan. Contohnya lidah akan selalu mengajak makan dan minum yang enak tanpa berpikir dibutuhkan atau tidak, bahkan berbahaya bagi tubuh atau tidak. Nafsu tidak bisa dibunuh, karena dia built in di dalam diri, membunuh nafs berarti membunuh manusianya. Nafs adalah daya hidup, tanpa nafs maka manusia tidak bisa hidup, tidak memiliki keinginan makan, minum dll. Hal terpenting dalam konteks kepemimpinan adalah bagaimana mengendalikan nafsu. Mengendalikan nafsu itu seperti mengendalikan kuda, penunggang kuda bisa mengendalikan kuda ke arah mana saja, tatkala sudah mampu mengendalikan kuda yang ditungganginya. Itulah hikmah dari jalan api. Hambatan orang berbuat adil adalah bisikan atau ajakan hawa nafsu yaitu keinginan subjektif, perasaan, emosional, cinta, benci, cemburu, amarah, dan lain-lain. Sebagus dan sesempurna apapun suatu sistem, di level creator dan eksekusinya tetaplah manusia, sehingga suatu sistem tetap bisa dimanipulasi dari tujuannya.  Maka memperhitungkan dimensi manusia dalam kepemimpinan menjadi hal yang penting. Dalam bab lain akan dibahas motodologi pengendalian nafsu.

 

Ambeging banyu atau samudra

Laut adalah simbol dari muara dari segala persoalan, pengalaman, dan resiko. Pemimpin harus memiliki keluasan, kelapangan dada, kesiapan menampung segala hal karena dia adalah muara dari seluruh dinamika sosial dan politik. Dengan cara itulah pemimpin diajarkan hikmah kebijaksanaan. Hikmah adalah kebijaksanaan dalam menerapkan undang-undang hingga melahirkan keadilan. Pemimpin harus banyak makan garam artinya memiliki segudang ilmu dan pengalaman, artinya bukan hanya ilmu dalam dimensi wawasan namun mengalami (laku). Dalam Al-Kitab Yesus mengatakan “kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Pemimpin itu seperti garam yang harus asin, ilmu dan pengalamannya menjadi ‘biang rasa’ untuk mengasinkan segala masakan, ilmu, pengalaman dan kebijakannya menjadi pedoman hidup masyarakat. Seorang pemimpin harus mampu 'momong' semua rakyatnya, menampung dan mengajarkan solusi atas berbagai permasalahan rakyatnya, sebagaimana laut menjadi muara aliran seluruh sungai. Siap menampung apapun yang datang siapapun yang hadir.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
Butuh Bantuan? Kontak Kami